PERJUANGAN KI AGUNG WILIS
Namanya adalah Mas Putra, saat menjadi Patih Amangkubhumi (Perdana Menteri) Blambangan dia bergelar Wong Agung Wilis, dan setelah turun dari jabatannya dia dikenal sebagai Mas Sirna Wibhawa. Dia menjabat sebagai Perdana Menteri Blambangan sekitar tahun 1736-1760 mendampingi kakaknya, Pangeran Danuningrat yang berkuasa tahun 1736-1764.
Setelah kakaknya tiada, Agung Wilis menjadi Pangeran Blambangan sekitar tahun 1764-1778. Ayahnya bernama Pangeran Mas Purba atau Prabu Danurejo (1697-1736) dan ibunya adalah Mas Ayu Kabakaba.
Pada tahun 1743, Kapten Baron von Hohendorff menekan Sunan Amral (Amangkurat II) dari Kartasura agar menyerahkan wilayah Java’s Oosthoek kepada kompeni sebagai imbalan atas bantuan mengembalikan Tahta Kartasura kepadanya. Dua puluh empat tahun kemudian, tepatnya tanggal 20 Februari 1767, ekspedisi 45 kapal militer kompeni di bawah pimpinan Kapten Erdwijn Blanke yang terdiri atas 335 serdadu Eropa, 3.000 laskar pribumi berangkat untuk menduduki Blambangan. Pada tanggal 27 Februari 1767 satu kota Panarukan dapat direbut oleh kompeni.
Tanggal 22 Maret 1767 ekspedisi Belanda tiba di Banyualit (Sekarang Desa Blimbingsari, Banyuwangi). Pertempuran kedua pun meletus. Disana Genosida pertama terjadi. Saat itu orang-orang Blambangan keturunan Bali dibantai, kemudian di Bali sendiri Kompeni menyebarkan desas-desus bahwa Wong Blambangan telah membantai orang-orang Bali. Fitnah tersebut bertujuan untuk mengadudomba kedua belah pihak.
Tanggal 23 Maret 1767, di bawah pimpinan Kapten Alperes Adrianus Van Rijke (pengganti E. Blank), untuk pertama kalinya Bendera Belanda berkibar di Teluk Pampang. Hal tersebut otomatis memicu kemarahan pihak Blambangan yang dipimpin Pangeran Blambangan Agung Wilis.
Pada bulan Oktober 1767, Kompeni mendatangkan 50 prajurit Eropa dan 200 prajurit pribumi bantuan dari Lumajang dibawah pimpinan Kapten Wipperman.
Empat bulan kemudian, tepatnya pada 16 Januari 1768, kapal Catharina Cornelia dari Panarukan yang dikomandoi oleh Vaandrig Houtappel berlabuh di Banyualit mengangkut 1.000 orang prajurit pribumi untuk membantu pasukan kompeni di Blambangan.
18 Februari 1768 Kapten Maurer, Skipper Pietersz, Letnan Diest, dan Letnan Wipperman mulai menggempur Kutharaja. Namun pasukan kompeni itu dapat dikalahkan dan mundur. Dalam peristiwa itu, sekitar 150 penduduk sipil tewas dan terluka membela kehormatan negeri dan rajanya.
24 April 1768, Gezaghebber Joan Everard Coop a Groen bersama Kapten Vermehr dan Letnan Hounold menuju Blambangan dengan membawa 102 prajurit Eropa, 2.232 prajurit pribumi, dan 100 kuli angkut untuk membawa bahan pangan, obat-obatan, dan senjata yang akan digunakan untuk membantu pasukan kompeni yang terkepung di Banyualit. Awal Mei 1768 mereka tiba di Banyualit dan segera membombardir prajurit Blambangan dari laut untuk menyelamatkan prajurit Belanda yang terkepung dalam Benteng mereka sendiri. Ratusan pejuang Blambangan gugur.
14 Mei 1768, Armada Gezaghebber Joan Everard Coop a Groen (1767-1772) menuju Teluk Pampang untuk merebut kembali Benteng kompeni di Teluk Pampang. Peperangan di Teluk Pampang terjadi antara pasukan Letnan Hounold yang membawahi 60 serdadu Eropa dan 100 prajurit pribumi melawan pasukan Blambangan. Saat pihak Belanda bersiap menyambut Gezaghebber Joan Everard Coop a Groen turun dari kapal. Tiba-tiba pasukan gerilyawan Blambangan menyerang kembali dengan kekuatan 200 prajurit. Awalnya pasukan Blambangan menang, namun setelah Letnan Dietzen dan Biesheuvel datang dengan tambahan prajurit, keadaan berbalik.
Pasukan Blambangan terdesak di beberapa kubu pertempuran. Di Banyualit dimana Agung Wilis memimpin sendiri perjuangan juga kalah, disanalah kelicikan kompeni dimulai dengan memanfaatkan pengkhianat untuk melacak keberadaan Agung Wilis.
Agung Wilis ditangkap, kemudian diasingkan ke Pulau Endam (Damar Besar) di utara Batavia. Tapi pada tahun 1770 dia berhasil meloloskan diri ke Bunutin dan mengomando perjuangan rakyat dari sana.
Setelah itu Kutharaja Lateng (sekarang wilayah Kecamatan Rogojampi) dan seluruh desa di sekitarnya dibumihanguskan rata dengan tanah. Harta benda kerajaan termasuk manuskrip dari perpustakaannya dijarah. Bahan bangunannya diambil untuk membangun benteng di Teluk Pampang. Termasuk juga tempat-tempat ibadah seperti Masjid Agung, Pura Agung, dan Klenteng Ho Tong Bio, diratakan dengan tanah. Kelak untuk menghapus sejarahnya, disana dibangun sebuah jalan raya simpang tiga penghubung; Genteng-Banyuwangi-Benculuk-Grajagan.
Tahun 1774 Agung Wilis kembali ditangkap di Bali dan diasingkan ke Pulau Banda di Maluku. Selama dalam pembuangan, pemerintahan dijalankan oleh putranya. Agung Wilis sendiri wafat tahun 1778 dan jenazahnya dimakamkan di Pantai Mas, Blambangan.
Oleh Mas Aji Wirabhumi_BKX
Publiser : Nur Wahid Aziz
Ilustrasi : Kent Ali
Sumber : Arsip BKX
Komentar
Posting Komentar