SATYA A NAGARI 2
Terjebak si sebagian potongan sejarah
Oleh : Ki Gede Banyualit
Seperti sudah di sampaikan ke publik bahwa selalu ingat dan belajarlah sejarah. Termasuk bapak bangsa kita menyampaikan "pakailah jas merahmu" maka kamu akan menjadi pribadi yang besar. Sedikit saya mengolah dari aslinya karena ini yang di butuhkan oleh Nagari pada saat ini. Memperkecil konteks pemahaman, memperkecil konsep pembahasan, memperkecil sudut pandang yang dalam bahasa ilmiah skripsi, tesis, tugas akhir disebut dengan batasan masalah. Padahal, meski di batasi tetap saja masalah tak selesai-selesai.
Banyak orang yang ternyata terjebak dalam kotak-kotak prasangka masing-masing. Lebih mirisnya dalam konteks sejarah (sebagai konsep pemahaman bonggol sejarah secara utuh), mereka yang secara akademik mendapat pengakuan secara resmi justru menjadi Adigang, Adigung, Adiguna di bidangnya. Menjadi meyakini ilmu yang di dapat tanpa melihat kasunyatannya. Hal ini menjadi berbahaya dan ancaman tersendiri bagi tercapainya negara Pancasila.
Perjalanan sejarah begitu panjang, tak cukup hanya di karyakan dan dirangkum dalam bentuk buku saja tanpa membangun diri untuk menerima wahyu sejarah dengan kebesaran jiwa. Bukankah untuk membahas negara harus di awali dari diri sendiri? Untuk melakukan hal yang besar harus melakukan hal-hal kecil di sekitar kita yang secara kolektif dan otomatis akan mengubah negara secara utuh. Dan ini merupakan peran segala bidang disiplin ilmu untuk menerapkan hal-hal yang sangat prinsip yang dalam sistem pendidikan disebut dengan karekter.
Karakter merupakan hal prinsip, ibarat kita membuat masakan ini adalah bumbu pokok (bawang, gula, garam) yang dapat diterapkan dalam beraneka masakan, sesuai selera sesuai dengan bidang sendiri-sendiri. Ini perlu di tanamkan dan semua esensinya sama sehingga ketika dalam penerapan tidak ada benturan Darma yang sudah menjadi kodrat masing-masing.
Karakter ini harus di tanamkan diawali dari keluarga dan pusat pendidikan. Meminjam penanaman karakter pada masalalu dalam membekali setiap generasi dengan bekal karakter yang cukup sehingga memunculkan tingkat kepekaan yang tinggi sesuai dengan kebutuhan.
Setiap individu baru (generasi.red) setelah di pandang cukup untuk menerima pendidikan karakter, orang tua akan mengirim putra-putrinya ke samidha-samidha yang dipandang cocok dan mampu untuk memberikan rasa puas atas kebutuhan sesuai jamannya. Samidha menjadi suatu lembaga tempoe doloe yang diakui oleh rakyat Blambangan sebagai suatu lembaga yang memiliki tugas berat mendidik Blambangan untuk dapat menyikapi permasalahan masing-masing dengan kebijaksanaan tingkat tinggi.
Proses pendidikan di samidha berfungsi ganda, pertama untuk mendidik generasi terbaru untuk dapat pengetahuan, kedua untuk menyeleksi generasi terbaru tahu, memahami, mengerti dan melaksanakan dharmanya sendiri. Ini salah satu pokok intisari dari kekuatan Blambangan dalam percaturan peradaban dunia.
Setiap individu tahu, paham, mengerti dan melaksanakan tugasnya dengan kesadaran sehingga semua memberikan kepercayaan penuh kepada pribadi masing-masing sesuai bidangnya. Untuk makan, semua percaya penuh kepada petani dan petani sadar dalam tugasnya mengolah alam dan selanjutnya menyerahkan kepada pedagang untuk di distribukan. Untuk keamanan semua percaya pada agul-agul yang sudah disiapkan berdasarkan darmanya untuk menjaga keamanan. Untuk keadilan dan kemakmuran semua percaya kepada Ki Ageng, Ki Gede dan Mangkupraja untuk mengatur sistem pemerintahan. Hal ini menimbulkan efek kedamaian kolektif karena kesadaran akan tanggung jawab selalu di utamakan.
Tentunya, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Lain dulu lain sekarang karena perkembangan jaman. Namun efek dari devide et impera menguba segalanya. Dokumentasi perjalanan dan kejayaan leluhur yang ada di balai pustaka masing-masing kerajaan yang di bakar pada tahun 1773 (di Banger khusus dokumentasi Blambangan) memutus rantai informasi dokumentasi karakter Blambangan yang akhirnya di gantikan dokumentasi tahayul yang menjadi sumber semua informasi secara turun temurun.
Ibarat sumber air beracun di gunakan lintas generasi, maka yang meminum semuanya pada mabuk. Dan anehnya, nyatanya mereka yang katanya ahli dan sudah mendapat sertifikat keahlian ikut-ikutan mengkonsumsi sejarah beracun yang menutup kesadarannya dalam menerima frekuensi sejarah pendahulunya yang menjadikan sebab pikiran terkotak dan kerdil.
Munculnya kontroversi yang endingnya berebut benar, sok meluruskan dengan memunculkan kebenaran data berdasarkan bla bla bla yang ukuran datanya adalah seukuran debu jika di bandingkan dengan keutuhan sejarah Nusantara.
Kontrofersi Ibukota Majapahit di Trowulan memunculkan kubu-kubu yang saling menguatkan dan siap "perang" kapan saja.
Pembahasan Blambangan yang membuat kubu tiap kabupaten bahkan kubu rival yaitu blok Blambangan dan blok Mataram menjadi sensitif. Yang menjadi korban adalah generasi yang belum mengerti Bonggol permasalahan orang tuanya yang akhirnya mewariskan sentimen bagi pendahulunya yang berseteru. Semua menjadi suatu hal yang sensitif, dibahas mati-matian, pro kontra yang tidak memberikan edukasi nyata kepada generasi.
Racun sejarah mengkerdilkan peran pendahulunya. Yang ahli bidangnya terikat potongan periodisasi sejarah pendahulunya yg berdampak pada benar menurut versinya dan menolak serta menganggap versi lainnya salah.
Akankah generasi berikutnya mengulang "kebodohan" generasi sekarang? Maka eloknya kita pahami, mengerti dan sadari karakter utuh dari kesatuan sejarah negeri ini, sehingga membangun jiwa yang besar di setiap individu.
Selanjutnya? Tugas generasi untuk sadar. Orang tua yang sadar wajib menyadarkan generasinya untuk sadar dalam menempatkan samidha yang berbobot dan pas bagi putra-putrinya agar Bonggol sejarah pendahulunya menjadi referensi semangat dalam membangun peradaban baru yang lebih bermartabat.
Bangsa yang besar adalah milik jiwa yang besar. Dan negara Indonesia masih milik pahlawan-pahlawan yang dengan jiwa yang besar dan penuh kesadaran memerdekakan tanah airnya.
Sudah waktunya kesadaran kita menjadi utuh dalam menyadari masa lalu, masa sekarang untuk masa depan. Spiritual Country dan Spiritual Nagari sudah waktunya menjadikan negeri ini menjadi negeri yang damai dan sejahtera yang di dukung semesta.
========================================================================
Publish : Team BKX
Oleh : Ki Gede Banyualit
Seperti sudah di sampaikan ke publik bahwa selalu ingat dan belajarlah sejarah. Termasuk bapak bangsa kita menyampaikan "pakailah jas merahmu" maka kamu akan menjadi pribadi yang besar. Sedikit saya mengolah dari aslinya karena ini yang di butuhkan oleh Nagari pada saat ini. Memperkecil konteks pemahaman, memperkecil konsep pembahasan, memperkecil sudut pandang yang dalam bahasa ilmiah skripsi, tesis, tugas akhir disebut dengan batasan masalah. Padahal, meski di batasi tetap saja masalah tak selesai-selesai.
Banyak orang yang ternyata terjebak dalam kotak-kotak prasangka masing-masing. Lebih mirisnya dalam konteks sejarah (sebagai konsep pemahaman bonggol sejarah secara utuh), mereka yang secara akademik mendapat pengakuan secara resmi justru menjadi Adigang, Adigung, Adiguna di bidangnya. Menjadi meyakini ilmu yang di dapat tanpa melihat kasunyatannya. Hal ini menjadi berbahaya dan ancaman tersendiri bagi tercapainya negara Pancasila.
Perjalanan sejarah begitu panjang, tak cukup hanya di karyakan dan dirangkum dalam bentuk buku saja tanpa membangun diri untuk menerima wahyu sejarah dengan kebesaran jiwa. Bukankah untuk membahas negara harus di awali dari diri sendiri? Untuk melakukan hal yang besar harus melakukan hal-hal kecil di sekitar kita yang secara kolektif dan otomatis akan mengubah negara secara utuh. Dan ini merupakan peran segala bidang disiplin ilmu untuk menerapkan hal-hal yang sangat prinsip yang dalam sistem pendidikan disebut dengan karekter.
Karakter merupakan hal prinsip, ibarat kita membuat masakan ini adalah bumbu pokok (bawang, gula, garam) yang dapat diterapkan dalam beraneka masakan, sesuai selera sesuai dengan bidang sendiri-sendiri. Ini perlu di tanamkan dan semua esensinya sama sehingga ketika dalam penerapan tidak ada benturan Darma yang sudah menjadi kodrat masing-masing.
Karakter ini harus di tanamkan diawali dari keluarga dan pusat pendidikan. Meminjam penanaman karakter pada masalalu dalam membekali setiap generasi dengan bekal karakter yang cukup sehingga memunculkan tingkat kepekaan yang tinggi sesuai dengan kebutuhan.
Setiap individu baru (generasi.red) setelah di pandang cukup untuk menerima pendidikan karakter, orang tua akan mengirim putra-putrinya ke samidha-samidha yang dipandang cocok dan mampu untuk memberikan rasa puas atas kebutuhan sesuai jamannya. Samidha menjadi suatu lembaga tempoe doloe yang diakui oleh rakyat Blambangan sebagai suatu lembaga yang memiliki tugas berat mendidik Blambangan untuk dapat menyikapi permasalahan masing-masing dengan kebijaksanaan tingkat tinggi.
Proses pendidikan di samidha berfungsi ganda, pertama untuk mendidik generasi terbaru untuk dapat pengetahuan, kedua untuk menyeleksi generasi terbaru tahu, memahami, mengerti dan melaksanakan dharmanya sendiri. Ini salah satu pokok intisari dari kekuatan Blambangan dalam percaturan peradaban dunia.
Setiap individu tahu, paham, mengerti dan melaksanakan tugasnya dengan kesadaran sehingga semua memberikan kepercayaan penuh kepada pribadi masing-masing sesuai bidangnya. Untuk makan, semua percaya penuh kepada petani dan petani sadar dalam tugasnya mengolah alam dan selanjutnya menyerahkan kepada pedagang untuk di distribukan. Untuk keamanan semua percaya pada agul-agul yang sudah disiapkan berdasarkan darmanya untuk menjaga keamanan. Untuk keadilan dan kemakmuran semua percaya kepada Ki Ageng, Ki Gede dan Mangkupraja untuk mengatur sistem pemerintahan. Hal ini menimbulkan efek kedamaian kolektif karena kesadaran akan tanggung jawab selalu di utamakan.
Tentunya, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Lain dulu lain sekarang karena perkembangan jaman. Namun efek dari devide et impera menguba segalanya. Dokumentasi perjalanan dan kejayaan leluhur yang ada di balai pustaka masing-masing kerajaan yang di bakar pada tahun 1773 (di Banger khusus dokumentasi Blambangan) memutus rantai informasi dokumentasi karakter Blambangan yang akhirnya di gantikan dokumentasi tahayul yang menjadi sumber semua informasi secara turun temurun.
Ibarat sumber air beracun di gunakan lintas generasi, maka yang meminum semuanya pada mabuk. Dan anehnya, nyatanya mereka yang katanya ahli dan sudah mendapat sertifikat keahlian ikut-ikutan mengkonsumsi sejarah beracun yang menutup kesadarannya dalam menerima frekuensi sejarah pendahulunya yang menjadikan sebab pikiran terkotak dan kerdil.
Munculnya kontroversi yang endingnya berebut benar, sok meluruskan dengan memunculkan kebenaran data berdasarkan bla bla bla yang ukuran datanya adalah seukuran debu jika di bandingkan dengan keutuhan sejarah Nusantara.
Kontrofersi Ibukota Majapahit di Trowulan memunculkan kubu-kubu yang saling menguatkan dan siap "perang" kapan saja.
Pembahasan Blambangan yang membuat kubu tiap kabupaten bahkan kubu rival yaitu blok Blambangan dan blok Mataram menjadi sensitif. Yang menjadi korban adalah generasi yang belum mengerti Bonggol permasalahan orang tuanya yang akhirnya mewariskan sentimen bagi pendahulunya yang berseteru. Semua menjadi suatu hal yang sensitif, dibahas mati-matian, pro kontra yang tidak memberikan edukasi nyata kepada generasi.
Racun sejarah mengkerdilkan peran pendahulunya. Yang ahli bidangnya terikat potongan periodisasi sejarah pendahulunya yg berdampak pada benar menurut versinya dan menolak serta menganggap versi lainnya salah.
Akankah generasi berikutnya mengulang "kebodohan" generasi sekarang? Maka eloknya kita pahami, mengerti dan sadari karakter utuh dari kesatuan sejarah negeri ini, sehingga membangun jiwa yang besar di setiap individu.
Selanjutnya? Tugas generasi untuk sadar. Orang tua yang sadar wajib menyadarkan generasinya untuk sadar dalam menempatkan samidha yang berbobot dan pas bagi putra-putrinya agar Bonggol sejarah pendahulunya menjadi referensi semangat dalam membangun peradaban baru yang lebih bermartabat.
Bangsa yang besar adalah milik jiwa yang besar. Dan negara Indonesia masih milik pahlawan-pahlawan yang dengan jiwa yang besar dan penuh kesadaran memerdekakan tanah airnya.
Sudah waktunya kesadaran kita menjadi utuh dalam menyadari masa lalu, masa sekarang untuk masa depan. Spiritual Country dan Spiritual Nagari sudah waktunya menjadikan negeri ini menjadi negeri yang damai dan sejahtera yang di dukung semesta.
========================================================================
Publish : Team BKX
Komentar
Posting Komentar