HARJABA ATAU HARJAKABA ?
Usia Banyuwangi sudah 247 tahun! Ini usia Kota Banyuwangi apa Kabupaten Banyuwangi? Kalau disebut HARJAKABA (Hari Jadi Kabupaten Banyuwangi), mungkin benar. Tapi untuk disebut HARJABA, ah nanti dulu!
Dalam tulisan ini, aku tidak bermaksud menggugat perayaan dan peringatan HARJABA, tidak. Sepenuhnya aku mendukung, dan buktinya aku selalu berusaha untuk bisa menghadiri event yg berkaitan dengannya. Walaupun kenyataannya yang kita peringati adalah HARJAKABA dan bukan HARJABA. Lalu apa beda HARJABA dengan HARJAKABA?
Begini saudaraku.
HARJABA 18 Desember 1771 ini menurut Suhalik dalam bukunya Lingkar Waktu, disepakati oleh para pemangku kepentingan kala itu sehingga identik dengan faktor perlawanan terhadap VOC agar lebih patriotik. Maka jatuhlah pilihan itu pada peristiwa kemenangan Mas Rempeg dalam salah satu babak Perang Bayu, 18 Desember 1771. Dari sini saja tidak ada hubungannya dg Berdirinya Kabupaten Banyuwangi yang menurut catatan De Jonge yang diamini oleh Sejarawan UGM Sri Margana, seharusnya adalah tanggal 24 Oktober 1774 saat residen pindah dari Lopampang dan saat Mas Alit pindah dari BENCULUK, ke Kota Banyuwangi.
Tanggal itulah yang seharusnya yang diperingati sebagai HARJAKABA, namun karena ada unsur Kolonial sentris, maka tanggal tersebut ditolak. Dan jadilah HARJABA seperti yg kita peringati saat ini. Padahal jika mau ditarik ke masa yang jauh lebih lama lagi, kita akan menemukan tanggal- tanggal lain yang lebih awal dari kedua tanggal di atas.
Kota Banyuwangi yang kita lihat saat ini adalah kota yang dibentuk oleh Residen Schopphof tahun 1774 atas perkenan dari Gubernur Luzac. Dinamai Banyuwangi adalah untuk mengadopsi cerita rakyat lokal yakni dari Lontar Sritanjung. Artinya, jika cerita Sritanjung itu benar (bukan dongeng semata), maka tentu lokasi Banyuwangi yang dimaksud bukan disitu. Karena faktanya disitu dinamai Banyuwangi oleh Schopphof untuk mengingat Banyuwangi-nya Sritanjung.
Lalu ada yang bertanya, "jangan-jangan Banyuwangi tidak benar-benar ada kalau Sritanjung-nya saja hanya dongeng?" .
Ah ya nanti dulu. Mari kita buka Babad Demak. Disana dikisahkan bahwa tahun 1479 Sultan Fattah mengundang perwakilan dari ujung timur Jawa yang bernama Ki Gede Banyuwangi. Dari namanya jelas berarti Orang Besar dari Banyuwangi atau Pejabat di Banyuwangi. Tokoh ini dalam Babad Pajang disebut sebagai salah satu murid Syaikh Siti Jenar dari ujung timur Jawa. Dia bersama kedua rekannya Ki Balak dan Ki Tembelang pernah datang ke Pajang saat Ki Kebo Kenongo wafat.
Keberadaan Syaikh Siti Jenar di Banyuwangi di ceritakan juga dalam Suluk Balumbung dan dibuktikan dg adanya petilasan di Lastono, Lemahbang, Singonjuruh. Maka benar jika dia memiliki murid-murit yang berasal dari ujung timur Pulau Jawa ini. Dari nama Ki Gede Banyuwangi inilah kita menemukan bahwa disini, dahulu pernah ada pemerintahan sederhana yang dipimpin seorang Ki Gede.
Lalu dimana lokasi Banyuwangi ini? Kita bisa membuka pada Serat Centini atau Suluk Tambangraras. Disana juga dikisahkan perjalanan dua putera Sunan Kawis Guwa dari Giri Kedhaton yakni, Jayengresmi dan Rancangkapti ke ujung timur Jawa pada masa kekuasaan Prabu Tawangalun I (Menak Seruyu). Uniknya, perjalanan mereka yang melalui jalur Pantai Utara (lewat Probolinggo-Situbondo) itu kemudian masuk ke Balambangan dan baru kemudian di Banyuwangi. Jadi, Balambangan dulu baru kemudian sampai ke Banyuwangi. Lokasinya, dari Candi Sela Pethak ke timur selatan. Di tepi pantai. Disitu nama Banyuwangi disebut juga Toyawangi atau Toyaganda atau Tirtaarum dengan maksud yang sama. Banyuwangi masa itu adalah pelabuhan tempat para pedagang singgah ketika dalam perjalanan dari Bali ke Jawa dan sebaliknya. Artinya Banyuwangi sudah ada, sudah ramai di tahun 1500-1600an. Bukan sebuah kota baru yang dibangun 1774 oleh VOC.
Terakhir, jika kita hubungkan dengan cerita Sritanjung, boleh tidak? Boleh saja. Mengapa? Karena sejarah Jawa saja dalam Babad Tanah Jawi, keraton Mataram menautkan silsilah leluhur mereka sampai ke tokoh2 pewayangan. Artinya, tokoh Sidopekso suami Sritanjung dapat pula kita hubungkan dengan Pandawa sebagaimana dalam Serat Ruwatan Sudamala. Tinggal dihitung saja, berapa generasi dari Sultan Agung ke Parikesit putera Arjuna (salah satu Pandawa). Maka di tahun yang sama (jika ketemu) disanalah ada kisah Sritanjung-Sidopekso. :-D
Aku sih, lebih suka jika awet muda, tanpa mengingkari usia tua. Jadi, berapa usia Kota Banyuwangi asli saat ini? Hitung saja sendiri. Jika sudah ketemu mau apa? Bangga kalau kotanya lebih tua dari kota lain? Bangga saja tidak cukup. Harus ada kontribusi untuk kemajuannya, lewat paran hang biso riko lakoni.
Jangan hanya Jargon membangkitkan ini atau itu, jangan hanya Romantisme Masa Kejayaan ini atau itu. Pelajarilah Sejarah sebagai motivasi.
_____________________
Catatan: Maaf tulisan ini tidak dalam rangka menggugat atau memancing perdebatan. Karena kita tidak sedang menghitung usia kota-nya Schopphof loh ya?
Oleh : JSKB
Editor : Mas Anom Mahameru
Komentar
Posting Komentar