BABAD DESA TAMBONG
BABAD DESA TAMBONG
Oleh : M. Hidayat Aji WR
Tambong, sebuah desa di Kecamatan Kabat adalah satu dari beberapa nama Desa Tua di Kabupaten Banyuwangi. Setidaknya Babad Bayu menyebutkannya sebagai salah satu desa yang Bekel-nya ikut terlibat bersama Mas Rempeg dalam usaha mengusir penjajahan VOC-Belanda tahun 1771-1772 dalam Perang Bayu yang heroik itu. Dengan demikian, Tambong memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang.
Dalam Kamus Bahasa Using Hasan Ali, Tambong adalah salah satu jenis Bambu, yakni Bambu Tambong. Mungkin dahulu, saat pertama kali pemuka desa yang babat alas di Tambong menemukan banyak bambu jenis tersebut di tempat ini. Bambu tersebut kemudian dimanfaatkan untuk bahan bangunan dan sarana umum lainnya, termasuk sebagai jembatan yang menyeberangkan penduduk dari dan menuju Kutharaja Macanputih melalui sisi utara.
Siapakah pembabat desa Tambong? Mungkin kita bisa mendapat petunjuk dari cerita rakyat setempat tentang tokoh bernama Ki Anggajaya, orang yang diduga telah babat alas desa Tambong (Krajan), Gejoyo/Kejoyo, dan Dusun Kebonsari. Juga nama Ki Reksa, bekel desa Tambong yang turut serta dalam Perang Bayu tahun 1771-1772.
Babad Tawangalun menuturkan bahwa Tawangalun yang waktu itu menjadi Pangeran Kedhawung (ke-V) kemudian mengalah kepada adiknya dan pindah ke Hutan Bayu bersama 40 orang pengikutnya. Setelah itu beliau bertapa di pangabekten, di kaki Gunung Raung. Setelah tujuh malam beliau mendengar suara bahwa; “Seekor harimau putih akan membawanya ke hutan Sudimara. Tempat kerajaan yang baru; Macanputih.” Selama tujuh hari beliau berjalan sebelum kemudian bertemu dengan Macanputih tersebut. Dengan naik di atas punggung Harimau itu, akhirnya beliau sampai di hutan Sudimara. Selanjutnya bersama penduduk Bayu beliau membangun kota baru di tempat tersebut selama lima tahun sepuluh bulan (antara tahun 1655-1661).
Ibukota Balambangan kemudian dipindahkan ke Sudimara yang kemudian dikenal dengan nama Kutha Macanputih. Penduduk dari Kuthadawung (di Paleran Umbulsari Jember) di barat Gunung, kemudian menyusul pindah ke Kutha Macanputih di timur Gunung. Semakin lama semakin banyak penduduk yang ikut pindah hingga mencapai lebih dari 2.000 jiwa. Demikianlah mereka membangun desa-desa baru.
Kutharaja Macanputih dibangun dalam waktu lima tahun, dan lima tahun berikutnya desa-desa penyangga seperti Sratian (Sraten), Alihan (Aliyan), Gelintang (Gintangan), Tambong, dan sebagainya yang masuk dalam kawasan Jawi kutha, antara tahun 1660-1665. Pengembangan Kutharaja ke arah utara dilakukan oleh tokoh bernama Ki Anggajaya, kemungkinan besar dia adalah salah satu pejabat di era tersebut yang mendapat tanah di sebelah utara sebuah sungai. Wilayah yang banyak ditumbuhi Bambu Tambong itu kemudian dikenal dengan Padukuhan Tambong. Beliau membuat semacam alat penyeberangan (rakit atau jembatan) dari bambu di sungai Tambong untuk memudahkan mobilitas penduduk dari dan menuju Kutharaja.
Selanjutnya kita simak dalam Babad Bayu, dimana disebutkan daftar bekel (kepala desa) yang terlibat dalam Perang Bayu tahun 1771-1772 bersama Mas Rempeg. Diantaranya, disana terdapat nama kepala desa Tambong saat itu, yaitu Ki Reksa. Nama Reksa dalam sejarah Balambangan dapat ditemukan dalam beberapa nama lainnya, yakni Reksawana, Reksa Samudra, dan Pangraksabhumi. Nama-nama itu tentu bukan nama asli melainkan Gelar/Jabatan.
Dugaan kami, nama Ki Reksa adalah nama lain dari salah satu yang tiga itu, yakni Ki Reksawana. Hal ini dikuatkan dengan keikutsertaan beliau daam Perang di hutan Bayu. Bisa jadi beliau adalah benar-benar Ki Reksawana itu. Dan karena masyarakat kita kental dengan nuansa feodal, maka jelas bahwa beliau adalah penerus Ki Anggajaya entah sebagai cucu atau buyutnya. Kalau bukan, mustahil beliau dapat menjadi bekel di desa Tambong yang dibuka oleh Ki Anggajaya yang hidup era Susuhunan Prabu Tawangalun II.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa penduduk Tambong terlibat penuh dalam Perang Bayu mempertahankan kemerdekaan Balambangan dari serbuan tentara penjajah kompeni Belanda dan sekutunya. Karena itu penduduknya ikut dibantai oleh Belanda dan desanya termasuk desa-desa yang dibumihanguskan oleh penjajah itu.
Tentang bagaimana nasib Ki Reksa, tidak ada penjelasan kebih lanjut. Apakan beliau ikut gugur di medan laga, ataukah ikut tertangkap dan dibawa ke Teluk Pampang dan dieksekusi disana, atau selamat dan ikut mengungsi ke Pulau Nusabarong. Tidak ada yang tahu. Tidak ada catatan tentang beliau pasca Perang Bayu 1771-1772. Yang jelas, Tambong menyimpan sejarah panjang, sejak mulai dibangunnya Kutharaja Macanputih tahun 1655 hingga sirnyanya wibawa Balambangan tahun 1772 dalam Perang Bayu, bahkan hingga saat ini.
Dari tulisan singkat ini, sementara kita dapat mengambil kesimpulan bahwa desa Tambong pertama dibuka oleh Ki Anggajaya sekitar tahun 1655 bersamaaan dengan dibukanya Alas Sudimara menjadi Kutha Macanputih. Dan dengan sistem feodal yang berlaku saat itu, ada kemungkinan bahwa Ki Reksa adalah penerus Ki Anggajaya sebagai bekel Desa Tambong yang terlibat aktif dalam Perang Bayu tahun 1771-1772 bersama Mas Rempeg..
Keradenan, 22 Pebruari 2019
Oleh : M. Hidayat Aji WR.
*) Penulis buku Suluh Blambangan 1 & 2.
Editor : Nur Wahid Aziz
Publish : Mas Anom Mahameru
Komentar
Posting Komentar