MELACAK SANG MENAK JINGGO
LEGENDA DAMARWULAN MENAK JINGGO
Tersebutlah seorang ratu bernama Dewi Suhita yang bergelar Ratu Ayu Kencana Wungu (Suhita: tahun 1429-1447). Ia adalah penguasa Kerajaan Majapahit yang ke-6. Pada era pemerintahannya, Majapahit berhasil menaklukkan banyak daerah yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari wilayah kekuasaan kerajaan yang berpusat di Trowulan.
Salah satu kerajaan yang menjadi taklukan Majapahit adalah Kerajaan Blambangan yang terletak di Banyuwangi. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang bangsawan dari Bali, bernama Adipati Kebo Marcuet. Adipati ini terkenal sakti dan memiliki sepasang tanduk di kepalanya seperti kerbau.
Keberadaan Adipati Kebo Marcuet ternyata menghadirkan ancaman bagi Ratu Ayu Kencana Wungu. Meskipun hanya seorang raja taklukan, namun sepak terjang Adipati Kebo Marcuet yang terus-menerus merongrong wilayah kekuasaan Majapahit membuat Ratu Ayu Kencana Wungu cemas. Ratu Majapahit itu pun berupaya menghentikan ulah Adipati Kebo Marcuet dengan mengadakan sebuah sayembara untuk mengalahkan Adipati Kebo Marcuet, maka dia akan diangkat menjadi Adipati Blambangan yang baru. Sayembara itu diikuti oleh puluhan orang, namun semua gagal mengalahkan kesaktian Adipati Kebo Marcuet.
Hingga datanglah seorang pemuda tampan dan gagah bernama Jaka Umbaran yang berasal dari Pasuruan (Probolinggo). Ia adalah putera Ki Ajar Pamenger. Rupanya, Jaka Umbaran mengetahui kelemahan Adipati Kebo Marcuet. Maka, dengan senjata pusakanya gada wesi kuning (gada yang terbuat dari kuningan), dan dibantu oleh seorang pemanjat kelapa yang sakti bernama Dayun, Jaka Umbaran berhasil mengalahkan Adipati Kebo Marcuet.
Ratu Ayu Kencana Wungu sangat gembira dengan kekalahan Adipati Kebo Marcuet. Ia pun menepati janjinya dan menobatkan Jaka Umbaran menjadi Adipati Blambangan yang baru dengan gelar Minak Jinggo. Akan tetapi, Ratu Ayu Kencana Wungu menolak menikah dengan Jaka Umbaran karena pemuda itu kini tidak lagi tampan akibat pertarungannya dengan Adipati Kebo Marcuet.
Jaka Umbaran alias Minakjingga tetap bersikeras menagih janji. Ia datang ke Majapahit untuk melamar Ratu Ayu Kencana Wungu meskipun pada saat itu ia telah memiliki dua selir bernama Dewi Wahita dan Dewi Puyengan. Lamaran Minakjingga bertepuk sebelah tangan karena sang Ratu tetap tidak sudi menikah dengannya.
Penolakan itu membuat Minakjingga murka dan memendam dendam kepada Ratu Ayu Kencana Wungu. Untuk melampiaskan kemarahannya, Minakjingga merebut beberapa wilayah kekuasaan Majapahit (Perang Paregrek). Tidak hanya itu, Minakjingga pun berniat untuk menyerang ibu kota Majapahit. Ratu Ayu Kencana Wungu sangat khawatir ketika mendengar bahwa Minakjingga ingin menyerang kerajaannya. Maka, ia pun menggelar sayembara kedua.
Sekali lagi, puluhan pemuda turut serta dalam sayembara tersebut, namun tidak ada satu pun yang berhasil mengungguli kesaktian Minakjingga. Hal ini membuat sang Ratu semakin cemas. Saat kekhawatiran sang Ratu semakin besar, datanglah seorang pemuda tampan bernama Damarwulan.
Pertarungan sengit antara dua pendekar sakti itupun terjadi. Keduanya silih-berganti menyerang. Namun, akhirnya Damarwulan kalah dalam pertarungan itu hingga pingsan terkena pusaka gada wesi kuning milik Minakjingga. Damarwulan pun dimasukkan ke dalam penjara.
Rupanya, kedua selir Minakjingga, Dewi Wahita dan Dewi Puyengan, terpikat melihat ketampanan Damarwulan. Mereka pun secara diam-diam mengobati luka pemuda itu. Bahkan, mereka juga membuka rahasia kesaktian Minakjingga.
Pada malam harinya, Dewi Sahita dan Dewi Puyengan mencuri pusaka gada wesi kuning saat Minakjingga terlelap. Pusaka itu kemudian mereka berikan kepada Damarwulan. Setelah memiliki senjata itu, Damarwulan pun kembali menantang Minakjingga untuk bertarung. Alangkah terkejutnya Minakjingga saat melihat sejata pusakanya ada di tangan Damarwulan. Minakjingga-pun tidak bisa melakukan perlawanan sehingga dapat dengan mudah
Akhirnya, Menakjingga, Adipati Blambangan itu tewas oleh senjata pusakanya sendiri. Damarwulan memenggal kepada Minakjingga untuk dipersembahkan kepada Ratu Ayu Kencana Wungu. Damarwulan pun berhak menikah dengan Ratu Ayu Kencana Wungu dan mendampinginya menjadi Raja Majapahit bergelar Brawijaya dengan dua pendampingnya Sabdapalon dan Noyogenggong.
PENDAHULUAN
Membaca Balambangansch Adatrecht karya Dr.Y.W. De Stoppelaar (1927), kita dapat memahami, bahwa ternyata yang mendiktekan Sejarah Blambangan harus bermula dari Arya Wiraraja adalah Brandes yang didukung oleh Muhlefenfeld, Stoppelaar, dan sebagainya. Brandes tidak bisa membedakan antara Blambangan dengan Lamajang Tigangjuru-nya Arya Wiraraja?
Juga pendapat Brandes mengenai Bhre Wirabumi. Kesalahan besarnya adalah menyamakan Mandala Wirabhumi dengan Kerajaan Blambangan dan Stoppelaar menyamakan Bhre Wirabumi dengan tokoh Menak Jinggo.
Kita tifak akan pernah menemukan sejarah Blambangan dalam karya mereka karna yang mereka bahas adalah Lamajang Tigangjuru lompat ke Mandala Wirabhumi dan lompat jauh ke Kabupaten Banyuwangi.
Menelusuri mitos Menak Jinggo merupakan hal yang sangat menarik bagi kami. Mengungkap apakah sosok ini tokoh fiktif atau nyata? Namanya adalah nama gelar ataukah nama sesungguhnya? Apakah satu orang atau beberapa orang? Dan yang paling utama, mengingat tokoh ini sangat diidentikkan dengan Blambangan dan Banyuwangi, apakah dia berkaitan dengan Blambangan (dalam hal ini Banyuwangi) atau tidak?
Pencarian ini mengarah pada sisi politik dimana Blambangan selalu diadu secara paksa melawan Majapahit dan Mataram, termasuk nantinya adudomba antara Hindu versus Islam. Padahal fakta-fakta prasasti tidak pernah mengatakan adanya hal itu, karena Blambangan belum berdiri saat Majapahit ada. Kecuali fanatisme sebagian kecil kita yang di Banyuwangi (sebagaimana orang daerah lain) yang selalu merasa bahwa daerahnya lebih dari daerah lain.
Menganggap bahwa Blambangan baru ada setelah tahun 1400an bukan berarti menjadikan wilayah Ujung Timur Jawa ini sebagai tanah tak bertuan di tahun-tahun sebelum itu. Walau belum ada bukti catatan tertulis, namun peradaban pernah ada di Alas Purwo (Tegaldlimo Banyuwangi), Kendeng Lembu (Glenmore Banyuwangi), Kawah Ijen Banyuwangi, Situs-situs Megalitik di Bondowoso, Jember, dan Situbondo, juga Candi-candi di Jember, Lumajang, dan Probolinggo. Dapat disebutkan beberapa nama seperti Kerajaan Purwacarita dalam Babad Tanah Jawi dan Kerajaan Ijennagari/Tarumpura dalam Suluk Balumbung. Juga nama Sadeng, Ketah, Pakembangan, Patukangan, Lamajang dan sebagainya dalam Negarakertagama yang kesemuanya menggambarkan adanya peradaban tua yang sudah ada sebelum Blambangan ada di wilayah timur Jawa ini.
Seperti Keraton Jogjakarta Hadiningrat yang berdiri di atas reruntuhan Kerajaan Mataram Jawa. Kerajaan Mataram Jawa berdiri diatas reruntuhan Kesultanan Pajang. Kesultanan Pajang berdiri diatas reruntuhan Kerajaan Pengging. Kerajaan Pengging beridiri diatas reruntuhan Mandala Pajang (wilayah Bhre Pajang era Majapahit). Mandala Pajang berdiri diatas reruntuhan Kerajaan Boko/Prambanan. dan seterusnya.
Banyuwangi, Jember, Sitobondo, Bondowoso, Lumajang, dan Probolinggo juga berdiri dari reruntuhan Kerajaan Blambangan. Kerajaan Blambangan berdiri dari reruntuhan Mandala Wirabhumi dan Pakembangan, serta Kadipaten Balumbung (era Majapahit). Kadipaten Balumbung dan Mandala Wirabhumi berdiri dari reruntuhan Majapahit Kedhaton Wetan. Majapahit Kedhaton Wetan berdiri dari reruntuhan Kerajaan Lamajang Tigangjuru, dan seterusnya.
Jadi tidak perlu memaksakan nama Kerajaan Blambangan sudah ada sejak tahun sekian atau abad sekian, faktanya nama itu benar-benar baru ada tahun 1705 saat Prabu Danurejo membangun ibukota baru di Alas Kebhrukan Muncar yang disebut sebagai Kutharaja Blambangan (situs stinggil, Umpak Songo, dll). Nama kerajaannya apa, tidak disebutkan, dan jika diyakini Blambangan ada kaitannya dengan Hayam Wuruk, maka kerajaannya lebih tepat jika disebut Kadipaten Balumbung seperti tertulis dalam Negarakertagama. Kita perlu mengingat bagaimana nama Kedhaton Singhasari (ibukota) lebih terkenal sebagai nama keraajaan daripada Tumapel yang merupakan nama sesungguhnya. Demikian pula Kedhaton Blambangan (ibukota) yang lebih popular daripada nama Balumbung.
BHRE WIRABHUMI DAN MENAK JINGGO
Cerita masyarakat selama ini hanya menyebutkan bahwa di Blambangan ada Adipati bernama Kebo Mancuet yang mengancam kekuasaan Ratu Majapahit Kencono Wungu (Prabustri Sri Suhita). Lalu sang ratu mengadakan sayembara untuk amengalahkan Kebo Mancuet dan yang bisa mengalahkannya akan diangkat menjadi adipati Blambangan yang baru. Kemudian tampillah Jaka Umbaran mengalahkan Kebo Mancuet dan Jaka Umbaran menjadi adipati Blambangan bergelar Menak Jinggo.
Belakangan Adipati Menak Jingga ingin merebut tahta Majapahit dan memperistri Kencono Wungu. Untuk menolak hal itu Kencono Wungu mengadakan sayembara (kedua), bahwa siapa yang bisa membinasakan Menak Jinggo akan dijadikan suami. Kemudian muncullah tokoh Damarwulan yang sanggup mengalahkan Menak Jinggo.
Selama ini kisah Damarwulan vs Menak Jinggo hanya kita simak sepotong saja dari dua kisah diatas. Pertama Kebo Mancuet dikalahkan Jaka Umbaran alias Menak Jinggo, dan kedua yaitu Menak Jinggo dikalahkan Damarwulan. Yang kita ingat hanya kisah Damarwulan memenggal kepala Menak Jinggo saja, kisah Kebo Mancuet kita lupakan.
Sekarang kita pilah satu persatu; Pertama, tentang Gelar Kebo, yaitu gelar bangsawan keturunan raja. Identifikasi tentang tokoh Kebo Mancuet ini identik dengan putera seorang raja, lebih tepatnya putera Prabu Hayam Wuruk, kita selama ini mengenalnya hanya sebagai Bhre Wirabhumi, seorang putera selir. Karena kurangnya wawasan sejarah kita, nama aslinya siapa, kita tidak tahu. Padahal dalam Prasasti Biluluk diungkapkan bahwa dia bernama Bhattara Rajanatha, jadi inilah nama asli Bhre Wirabhumi.
Selanjutnya arti kata Bhre dalam nama Bhre Wirabhumi. Bhre berasal dari kata Bhattara i (Raja di…), artinya Bhre Wirabhumi adalah raja di wilayah Wirabhumi. Wirabhumi atau Bumi/Tanah nya Wira (Arya Wiraraja) tentu adalah daerah Lamajang dan Tigangjuru (Pasadehan/Pasuruan, Banger/Probolinggo, dan Patukangan/Situbondo). Jadi sudah jelas bahwa Bhre Wirabhumi adalah raja di wilayah Wirabhumi yang mencakup; Lumajang, Pasuruan (timur), Probolinggo, dan Situbondo (barat), dimana Blambangan tidak termasuk di dalamnya.
Sekarang kita sudah mengetahui bahwa raja di Wirabhumi (Bhre Wirabhumi) yang merupakan Kebo (anak raja Hayam Wuruk) ini bernama asli Bhattara Rajanatha. Dalam legenda dia disebut sebagai Kebo Mancuet. Dalam identifikasi ini kami menyamakannya dengan tokoh Bhre Wirabhumi (kedua) yaitu Aji Rajanata Dyah Kebo Mercuet dalam Suluk Balumbung. Bhattara memiliki makna sepadan dengan Aji. Disebut Bhre Wirabhumi kedua karena sebelum dia ada satu tokoh lagi yang menjadi Bhre di Wirabhumi, yakni Negarawardhani, dialah Bhre Wirabhumi pertama.
Kedua, identifikasi selanjutnya adalah mengenai siapa sosok Jaka Umbaran yang berhasil mengalahkan Kebo Mancuet. Perang antara tokoh Jaka Umbaran (panglima perang Majapahit) dengan Bhre Wirabhumi (kedua) Bhattara Rajanatha Dyah Kebo Mercuet inilah yang dalam Pararaton disebut dengan Paregrek tahun 1402-1406.
Setelah Bhre Wirabhumi (kedua) Aji Rajanatha Dyah Kebo Mercuet kalah, maka Jaka Umbaran diangkat sebagai adipati menggantikannya. Disini jelas bahwa Kenconowungu tidak menyalahi janjinya karena telah benar-benar mengangkat Jaka Umbaran sebagai raja menggantikan Kebo Mancuet.
Setelah menjadi raja yang baru, tokoh Jaka Umbaran yang menang sayembaranya tahun 1406 tersebut kemudian bergelar Adipati Menak Jinggo. Jadi jelas bahwa Putera Hayam Wuruk yang menjadi Bhre Wirabhumi itu bukanlah Menak Jinggo karena Menak Jinggo adalah gelar bagi Jaka Umbaran. Artinya, Menak Jinggo bukan putera Hayam Wuruk dari selir, karena putera raja itu bergelar Kebo, yaitu Kebo Mancuet. Dan justru Kebo Mancuet inilah yang dikalahkan oleh Jaka Umbaran alias Menak Jinggo.
Dalam sejarah, Suluk Balumbung menyebut bahwa tokoh Joko Umbaran ini adalah nama lain dari Raden Gajah yaitu pimpinan pasukan pengawal istana Majapahit, jabatannya adalah seorang Bra Narapati, karena itu dia juga dikenal sebagai Raden Gajah Narapati. Dia adalah putera dari Bima Sakti Kepakisan, yang dalam Babad Dalem disebut sebagai adipati Pasadehan/ Pasuruan. Maka ketika dia menjadi Bhre Wirabhumi (ketiga) setelah berhasil mengalahkan Kebo Mancuet, dia memindahkan pusat pemerintahannya ke wilayahnya sendiri yaitu di Banger/ Probolinggo. Jaka Umbaran alias Raden Gajah (seorang Bra Narapati) menjadi Bhre Wirabhumi (ketiga) dengan ibukota di Banger/Probolinggo bergelar Menak Jinggo.
MEMBERONTAK KEPADA MAJAPAHIT
Saat ini kita tidak melanjutkan pembahasan tentang putera Hayam Wuruk yaitu Kebo Mancuet atau yang nama lengkapnya Bhre Wirabhumi (kedua) Aji Rajanatha Dyah Kebo Mercuet itu, namun yang sedang kita lacak adalah siapa yang memberontak kepada Majapahit.
Raden Gajah Narapati alias Menak Jinggo, dialah yang mengobarkan perang Banger tahun 1433 karena lamarannya terhadap Kenconowungu ditolak. Saat itu Majapahit menggelar sayembara (kedua) dan tampillah Damarwulan mengalahkan Menak Jinggo.
Damarwulan adalah putera dari Prabu Wikramawardhana Dyah Gagak Sali dengan selirnya Dyah Aniswari (puteri dari Bhre Wirabhumi Aji Rajanatha Dyah Kebo Mercuet). Setelah mengalahkan Menak Jinggo dia tidak menikah dengan Kenconowungu yang merupakan kakak tiri (beda ibu) dengannya itu. Dia diangkat menjadi raja di Palembang. Sejarah mencatatnya sebagai Arya Damar atau Arya Dilah.
Semangat perjuangan Menak Jinggo itulah yang kemudian oleh masyarakat Banger/Probolinggo diabadikan sebagai nama supporter bola mereka. The Lasminggo (Laskar Menak Jinggo) pendukung Persipro (Persatuan Sepakbola Probolinggo).
Menak Jinggo tidak pernah disebut dalam fakta sejarah berdasarkan Prasasti, yang ada justru Sang Muggwing Jinggan yang artinya ‘penguasa di Jinggan’ yaitu sebuah daerah di wilayah Keling/Kediri. Sang Muggwing Jinggan ini adalah gelar dari Pangeran Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya yang memberontak pada pemerintahan Prabu Singhawikramawardhana Dyah Suraprabhawa di Majapahit tahun 1478. Jadi sebutan bahwa Penguasa Jinggan adalah pemberontak itu lebih tepat disematkan pada tokoh Dyah Samarawijaya ini.
DIKAITKAN DENGAN BLAMBANGAN
Dari ketiga sumber diatas, baik Bhre Wirabhumi (kedua) Aji Rajanatha Dyah Kebo Mercuet, dan Bhre Wirabhumi (ketiga) Jaka Umbaran/Raden Gajah Narapati/Menak Jinggo, maupun Dyah Samarawijaya (Sang Muggwing Jinggan), jelas bahwa ketiganya tidak ada yang berkuasa di Ujung Timur Jawa. Lalu bagaimana bisa Menak Jinggo kemudian dianggap sebagai Raja Blambangan?
Untuk memutus mata rantai sejarah yang akan diwariskan pada generasi yang akan datang, kompeni memang sengaja memerintahkan tangan-tangan lokal-nya untuk menulis ulang dan menyebarkan sejarah Blambangan yang baru versi mereka. Maka dari itu muncullah kisah-kisah kontroversial tentang Blambangan, dimana ciri khasnya adalah menjadikan Blambangan selalu pada posisi sebagai objek dan cenderung antagonis dalam sejarah daerah-daerah lain yang hanya dibahas secara sekilas.
Pada saat Kompeni memerintahkan penulisan legenda Damarwulan vs Menak Jinggo ini, menjadi Serat Kanda atau Serat Damarwulan, yang berkuasa di Blambangan saat itu adalah Pangeran Mas Sepuh alias Pangeran Jingga Danuningrat (1736-1764). Semua mafhum bahwa selama ini kompeni selalu menerapkan politik devidet et impera kepada lawan-lawannya, termasuk kedua tulisan itu juga digunakan untuk mengadudomba antara Jawa dengan Blambangan. Antara orang-orang Mataraman dengan orang-orang Blambangan. Karena itu kemudian kompeni mendeskreditkan penguasa Blambangan dengan tuduhan dan hinaan sebagai seorang raja raksasa tak bermoral berkepala Anjing, kakinya pincang, bicaranya cadel, dan buruk rupa. Pangeran Jingga Danuningrat dituduh sebagai keturunan Bali yang tak berhak berkuasa di ujung timur Jawa. Pangeran Jingga Danuningrat dituduh keturunan dari pemberontak. Dan Pangeran Jingga Danuningrat dituduh dengan berbagai macam tuduhan yang sangat tidak manusiawi. Kemudian namanya dikait-kaitkan dengan istilah Jinggan dan Jinggo untuk menguatkan kesan kebenaran cerita dalam Serat Kandha atau Serat Damarwulan, bahwa Pangeran Mas Sepuh alias Pangeran Jingga Danuningerat Raja Blambangan yang sedang berkuasa saat mitos ini ditulis adalah sama dengan tokoh Menak Jingga.
Beredarnya Serat Damarwulan tentu semakin menyudutkan penduduk dan para pejuang Blambangan dalam Perang Bayu 1771-1772 agar kian terpinggir dan dibenci sekaligus ditakuti karena dianggap bukan keturunan manusia.
Adipati Mangkunegara IV, Raden Mas Sudira, yang berkuasa tahun 1853-1881 diperintahkan untuk membuat sendratari dengan lakon Damarwulan Menak Jinggo. Setelah Adipati Mangkunegara IV mangkat tahun 1881, Belanda menempatkan salah satu puteranya yg bernama Harya Suganda menjadi Bupati Banyuwangi keenam (1881-1888) agar proses penyebaran cerita MENAK JINGGO itu lebih maksimal.
Babad-babad tersebut kemudian sengaja banyak diedarkan pada abad 18 dan 19. Cerita-cerita tutur dibuat dan disebarkan melalui para pendongeng keliling yang dibiayai oleh pihak kompeni. Setelah Generasi saksi mata banyak yang meninggal, maka muncullah generasi-generasi yang hanya mendengar cerita dari pendongeng keliling yang sengaja disebar kompeni tersebut. Akibatnya muncul banyak versi tentang satu kejadian yang sama dalam Sejarah Blambangan yang di masa kemudian membingungkan generasi anak-cucu. Sejarah Blambangan kini tertutupi oleh mitos dan kental dengan adu domba.
Memang sengaja ada upaya dari pihak Belanda dalam membuat jurang pemisah atas dasar perbedaan etnis dan agama; serta menumbuhkan perpecahan di masyarakat dengan adudomba atas nama Agama, Suku, dan Daerah. Padahal jika kita melihat dalam sejarah Blambangan secara lengkap, sebenarnya Blambangan itu tidak asing dengan budaya pluralisme-nya.
Maka Menak Jinggo yang sekarang kita pahami di Banyuwangi ini telah tumpang tindih. Kita harus jeli agar bisa melihat dan membedakan keempat tokoh berikut:
1. Yang merupakan putera Hayam Wuruk adalah Bhre Wirabhumi (kedua) yaitu Aji Rajanatha Dyah Kebo Mercuet.
2. Yang melamar Suhita/Kenconowungu adalah Bhre Wirabhumi (ketiga) yaitu Jaka Umbaran alias Raden Gajah Narapati alias Menak Jinggo.
3. Yang berkuasa di Jinggan dan memberontak pada Majapahit adalah Sang Muggwing Jinggan, Pangeran Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya.
4. Dan yang merupakan raja Blambangan adalah Pangeran Mas Sepuh/Pangeran Jingga Danuningrat.
Empat tokoh beda masa dan beda kronologis sejarahnya itu telah dicampur aduk menjadi satu tokoh benama MENAK JINGGO dengan segala kebejatan dan keburukan moralnya lalu disematkan sebagai Raja Blambangan oleh Lawan Politiknya.
PENUTUP
Selama ini kita anggap Bhre Wirabhumi putera Hayam Wuruk itu adalah Menak Jinggo. Padahal Menak Jinggo yang selama ini kita bela itu sebenarnya lebih tepat disebut Jaka Umbaran alias Raden Gajah Narapati. Menak Jinggo adalah raja Ywangga atau Banger alias Probolinggo.
Mungkin kalau sebagai Ikon Banyuwangi tidak wajar dan sangat tidak logis, karena berdasarkan sejarah atau cerita rakyat dan letak geografis Menak Jinggo berasal dan meninggal di Probolinggo bukan di Banyuwangi. Disamping itu masyarakat Probolinggo juga membuktikan kecintaan pada rajanya ini dengan mengabadikannya sebagai julukan untuk suporter Persipro yaitu “The Lasminggo” Laskar Menak Jinggo.
Kita yang di Banyuwangi, jika tidak jeli akan pemalsuan sejarah oleh Belanda ini kemudian membela habis-habisan sosok Menak Jinggo, raja Wirabhumi (ketiga) yang bertahta di Probolinggo ini. Kita membantah Menak Jinggo yang digambarkan; raksasa, kejam, cadel, buruk rupa (berkepala anjing), pincang, bengis, licik, dengan segala keburukan lainnya, dan membelanya dengan mengatakan bahwa Menak Jinggo adalah sosok yang tampan, gagah perkasa, pemberani, dan setia sehingga layak kita agungkan dan kita bangun patungnya di seantero wilayah untuk membuktikan bahwa Menak Jinggo tidak seperti yang diceritakan selama ini. Tapi sayangnya yang kita bela dan kita sanjung-sanjung itu ternyata bukan raja Blambangan…
Sudah seharusnya kita mempelajari sejarah kita lebih dalam lagi, bukan hanya bermodal katanya dan katanya, tapi berdasarkan sumber yang benar, yang tentu bukan karangan Belanda. Agar kita dapat mengenali siapa saja raja-raja Blambangan itu dan adakah dalam silsilah raja-raja Blambangan itu sosok bernama Menak Jinggo?
Sinisme antara Jawa/Mataraman dengan Blambangan harus diakhiri. Adudomba warisan Belanda itu harus disudahi. Bagaimanapun akan sangat lucu, karena Belanda yang mengadudomba telah pulang ke negaranya, namun kita dengan setia dan tulus ikhlas tetap melestarikan adudomba nya itu.
Adudomba adudomba mengadu domba...
Ketika kedua belah pihak sama2 saling membenci dan mencurigai, maka persatuan di Banyuwangi tidak akan terjadi. Dan jika persatuan tidak terjadi, maka Penjajahan gaya baru akan terus abadi...
Oleh: Mas Aji Wirabhumi_BKX
Sumber: Arsip BKX
Publiser : Mas Anom Mahameru_BKX
Saya sepakat dengan mas tentang tulisan ini. Sejarah memang diciptakan oleh yang berkuasa, persengkongkolan VOC dan Mataram memang berusaha mengalahkan daerah Blambangan dengan beragam cara; lewat perang fisik, lewat narasi ataupun mitos. Tetapi yang menarik bukan mana yang benar atau salah, tapi adanya proses perlawanan yang panjang terhadap dominasi VOC dan Mataram. Jaranan Buto adalah salah satu kesenian yang menawar fiksi menak jinggo tersebut. Di Jawa pada umumnya Menak Jinggo adalah penjahat, di Blambangan dia simbol heroik. Menak jinggo mungkin bukan milik orang Blambangan, tetapi ada semangat perlawanan disana yang identik tentang orang Osing sendiri. Orang Osing=orang yang berkata tidak atau orang yang menolak.
BalasHapusBahwa penaklukan mataram kuno oleh sriwijaya maka adanya minak/menak di p.jawa jd aseli jaka umbaran at minak jinggo suku lampung sbg pembesar/raja pengawas di p.jawa karena saya pewaris sriwijaya=yeh potih=seputih at sihlih potsi/sanfotsi sebelum bernama sriboja mengajak semua turunan minak/menak di p jawa abad ke 12 n 14 n abad ke 7 pd tatar sunda yg jawa tidak mau bayar upeti pd saudara tua nya/seputih/sriwijaya membuat paguyuban n tentu jumlahnya sangat banyak; sudi kalian mengerti n menghubungi saya
BalasHapusMarchone=instagram m marwan assayih=reiki of islam n reiki beauty n fortune
BalasHapusKedathon itu adopsi dari kedatuan/kedaton/kedatun=saat pakai glr dato datak datuk ini pun bersumber dari sriwijaya/seputih=melayu
BalasHapus